Riwayat Hidup Buddha Gotama
Sebelum menjadi pangeran siddhattha Gotama atau menjadi seorang buddha gotama, sebelumnya beliau terlahir sebagai seorang petapa sumedha. Sejak saat itu, Bodhisatta sumedha memenuhi Kesempurnaan-Kesempurnaan tersebut dalam berulang kali kelahirannya, demi kesejahteraan semua mahluk.Dan sebelum kehidupan terakhirnya, ia terlahir kembali sebagai dewa di Surga Tusita dengan nama Setaketu. Ia menikmati segala kebahagiaan hidup surgawi untuk jangka waktu yang lebih lama sembari menunggu waktu yang tepat untuk menjadi buddha.Surga Tusita merupakan tempat kelahiran terakhir untuk calon-calon menjadi buddha.
Sang Buddha lahir di antara suku Sakya (623 SM), di sebuah kerajaan di negeri yang sekarang bernama Nepal. Raja bernama Suddhodhana, permaisurinya adalah Ratu Maya. Meskipun Raja Suddhodana dan Ratu Maya sudah lama menikah, namun anak yang sangat mereka dambakan belum juga mereka peroleh, sampai pada suatu waktu Ratu Maya mencapai umur 45 tahun. Ketika itu Ratu Maya ikut serta dalam perayaan Asadha yang berlangsung tujuh hari lamanya. Setelah perayaan selesai Ratu Maya mandi dengan air wangi, mengucapkan janji uposatha dan kemudian masuk ke kamar tidur.
Sewaktu tidur, Ratu Maya memperoleh impian yang aneh sekali. Ratu bermimpi bahwa empat orang Dewa Agung telah mengangkatnya dan membawanya ke Himava (Gunung Himalaya) dan meletakkannya di bawah pohon Sala di (lereng) Mannosilatala. Kemudian para istri Dewa-Dewa Agung tersebut memandikannya di danau Anotatta, menggosoknya dengan minyak wangi dan kemudian memakaikannya pakaian-pakaian yang biasanya dipakai oleh para dewata. Selanjutnya Ratu dipimpin masuk ke sebuah istana emas dan direbahkan di sebuah dipan yang bagus sekali. Di tempat itulah seekor gajah putih dengan memegang sekuntum bunga teratai dibelalainya memasuki kamar, mengelilingi sebanyak tiga kali untuk kemudian memasuki perut Ratu Maya dari sebelah kanan.
Ratu memberitahu impian ini kepada Raja dan Raja kemudian memanggil para Brahmana untuk menanyakan arti dari impian tersebut. Para Brahmana menerangkan bahwa Ratu akan mengandung seorang bayi laki-laki yang kelak akan menjadi seorang Cakkavati (Raja dari semua Raja) atau seorang Buddha.
Memang sejak hari itu Ratu mengandung dan Ratu Maya dapat melihat dengan jelas bayi dalam kandungannya yang duduk dalam sikap meditasi dengan muka menghadap ke depan.
Sepuluh bulan kemudian di bulan Waisak Ratu memohon perkenan dari Raja untuk bersalin di rumah ibunya di Devadaha. Dalam perjalanan ke Devadaha tibalah rombongan Ratu di taman Lumbini (sekarang Rumminde di Pejwar, Nepal) yang indah sekali. Di kebun itu Ratu memerintahkan rombongan berhenti untuk beristirahat. Dengan gembira Ratu berjalan-jalan di taman dan berhenti di bawah pohon Sala. Pada waktu itulah Ratu merasa perutnya agak kurang enak. Secepatnya para dayang memasang tirai di sekeliling Ratu. Ratu berpegangan pada sebatang dahan pohon Sala, dan dalam sikap berdiri itu lahirlah bayi laki-laki. Waktu itu tepat bulan purnama di bulan Waisak, tahun 623 sebelum masehi (SM).
Empat Maha Brahma menerima bayi itu dengan jaring emas. Dari langit turunlah air hangat bercampur dingin untuk memandikan anak itu, walaupun sebetulnya sang bayi sudah bersih, tanpa darah yang melekat. Bayi itu kemudian berdiri tegak, berjalan tujuh langkah. Setiap dia menapak, di bawah kakinya tumbuhlah bunga teratai, lalu Ia berkata:
"Aggo `ham asmi lokassa
jettho `ham asmi lokassa
settho `ham asmi lokassa
ayam antima jati
natthi dani punabbhavo"
artinya adalah:
"Akulah pemimpin di dunia ini
akulah tertua di dunia ini
akulah teragung di dunia ini
inilah kelahiranku yang terakhir
tak akan ada tumimbal lahir lagi"
Kelahiran sang pangeran membawa kebahagiaan bagi seluruh kerajaan termasuk seorang petapa bernama Asita yang dikenal juga sebagai Kaladevala yang merupakan guru pribadi raja. Asita segera berkunjung ke istana Raja Suddhodana untuk melihat bayi tersebut. Ketika Petapa Asita telah tiba dan melihat adanya 32 tanda dari seorang Mahapurisa (Manusia Agung) pada bayi tersebut, ia memberikan hormat. Melihat hal ini Raja pun turut memberi penghormatan kepada putranya.
Setelah itu pertapa Asita tertawa gembira lalu kemudian menangis.
Raja bertanya, mengapa? Pertapa itu menjelaskan, dia tertawa karena senang bahwa bayi itu akan menjadi Buddha kelak, tetapi dia menangis, karena dia sudah tua, tidak akan berkesempatan turut menerima ajaran-ajaran Sang Buddha itu kelak.
Pada hari yang sama, lahir pula (timbul) dalam dunia ini:
Yasodhara, yang kemudian juga dikenal sebagai Rahula mata (ibu dari Rahula).
Ananda, yang kelak menjadi pembantu tetap Sang Buddha.
Kanthaka, yang kelak menjadi kuda Pangeran Siddhartha.
Channa, yang kelak menjadi kusir Pangeran Siddhartha.
Kaludayi, yang kelak mengundang Sang Buddha untuk berkunjung kembali ke Kanilavatthu.
Seekor gajah istana.
Pohon Bodhi, di bawah pohon ini Pangeran Siddhartha kelak akan mendapatkan Agung.
Nidhikumbhi, kendi tempat harta pusaka.
Sewaktu tidur, Ratu Maya memperoleh impian yang aneh sekali. Ratu bermimpi bahwa empat orang Dewa Agung telah mengangkatnya dan membawanya ke Himava (Gunung Himalaya) dan meletakkannya di bawah pohon Sala di (lereng) Mannosilatala. Kemudian para istri Dewa-Dewa Agung tersebut memandikannya di danau Anotatta, menggosoknya dengan minyak wangi dan kemudian memakaikannya pakaian-pakaian yang biasanya dipakai oleh para dewata. Selanjutnya Ratu dipimpin masuk ke sebuah istana emas dan direbahkan di sebuah dipan yang bagus sekali. Di tempat itulah seekor gajah putih dengan memegang sekuntum bunga teratai dibelalainya memasuki kamar, mengelilingi sebanyak tiga kali untuk kemudian memasuki perut Ratu Maya dari sebelah kanan.
Ratu memberitahu impian ini kepada Raja dan Raja kemudian memanggil para Brahmana untuk menanyakan arti dari impian tersebut. Para Brahmana menerangkan bahwa Ratu akan mengandung seorang bayi laki-laki yang kelak akan menjadi seorang Cakkavati (Raja dari semua Raja) atau seorang Buddha.
Memang sejak hari itu Ratu mengandung dan Ratu Maya dapat melihat dengan jelas bayi dalam kandungannya yang duduk dalam sikap meditasi dengan muka menghadap ke depan.
Sepuluh bulan kemudian di bulan Waisak Ratu memohon perkenan dari Raja untuk bersalin di rumah ibunya di Devadaha. Dalam perjalanan ke Devadaha tibalah rombongan Ratu di taman Lumbini (sekarang Rumminde di Pejwar, Nepal) yang indah sekali. Di kebun itu Ratu memerintahkan rombongan berhenti untuk beristirahat. Dengan gembira Ratu berjalan-jalan di taman dan berhenti di bawah pohon Sala. Pada waktu itulah Ratu merasa perutnya agak kurang enak. Secepatnya para dayang memasang tirai di sekeliling Ratu. Ratu berpegangan pada sebatang dahan pohon Sala, dan dalam sikap berdiri itu lahirlah bayi laki-laki. Waktu itu tepat bulan purnama di bulan Waisak, tahun 623 sebelum masehi (SM).
Empat Maha Brahma menerima bayi itu dengan jaring emas. Dari langit turunlah air hangat bercampur dingin untuk memandikan anak itu, walaupun sebetulnya sang bayi sudah bersih, tanpa darah yang melekat. Bayi itu kemudian berdiri tegak, berjalan tujuh langkah. Setiap dia menapak, di bawah kakinya tumbuhlah bunga teratai, lalu Ia berkata:
"Aggo `ham asmi lokassa
jettho `ham asmi lokassa
settho `ham asmi lokassa
ayam antima jati
natthi dani punabbhavo"
artinya adalah:
"Akulah pemimpin di dunia ini
akulah tertua di dunia ini
akulah teragung di dunia ini
inilah kelahiranku yang terakhir
tak akan ada tumimbal lahir lagi"
Kelahiran sang pangeran membawa kebahagiaan bagi seluruh kerajaan termasuk seorang petapa bernama Asita yang dikenal juga sebagai Kaladevala yang merupakan guru pribadi raja. Asita segera berkunjung ke istana Raja Suddhodana untuk melihat bayi tersebut. Ketika Petapa Asita telah tiba dan melihat adanya 32 tanda dari seorang Mahapurisa (Manusia Agung) pada bayi tersebut, ia memberikan hormat. Melihat hal ini Raja pun turut memberi penghormatan kepada putranya.
Setelah itu pertapa Asita tertawa gembira lalu kemudian menangis.
Raja bertanya, mengapa? Pertapa itu menjelaskan, dia tertawa karena senang bahwa bayi itu akan menjadi Buddha kelak, tetapi dia menangis, karena dia sudah tua, tidak akan berkesempatan turut menerima ajaran-ajaran Sang Buddha itu kelak.
Pada hari yang sama, lahir pula (timbul) dalam dunia ini:
Yasodhara, yang kemudian juga dikenal sebagai Rahula mata (ibu dari Rahula).
Ananda, yang kelak menjadi pembantu tetap Sang Buddha.
Kanthaka, yang kelak menjadi kuda Pangeran Siddhartha.
Channa, yang kelak menjadi kusir Pangeran Siddhartha.
Kaludayi, yang kelak mengundang Sang Buddha untuk berkunjung kembali ke Kanilavatthu.
Seekor gajah istana.
Pohon Bodhi, di bawah pohon ini Pangeran Siddhartha kelak akan mendapatkan Agung.
Nidhikumbhi, kendi tempat harta pusaka.
Lima hari setelah lahirnya sang bayi, Raja Suddhodana memanggil sanak saudaranya bersama-sama 108 Brahmana untuk merayakan kelahiran anak pertamanya dan juga untuk memilih nama yang baik.
Pada waktu itu, Raja bertanya kepada para Brahmana yang mahir dalam ilmu ramal meramal. Tujuh dari mereka berkata bahwa, putra raja kelak akan menjadi raja dari segala raja (Cakkavati) atau akan menjadi Buddha hanya Seorang Brahmana termuda yang bernama Kondanna, meramalkan dengan pasti bahwa sang bayi kelak akan menjadi Buddha.
Nama untuk sang bayi yang dipilih ialah Siddhartha, dengan nama keluarganya Gotama/Gautama. Siddhartha berarti: Tercapailah segala yang dicita-citakannya.
Tujuh hari setelah Pangeran Siddhartha lahir, Ratu Maya meninggal dunia. Raja Suddhodhana menikah lagi dengan Putri Pajapati, yang merupakan adik dari Ratu Maya. Ratu baru ini yang kemudian diserahkan tugas untuk merawat sang bayi.
Pada waktu itu, Raja bertanya kepada para Brahmana yang mahir dalam ilmu ramal meramal. Tujuh dari mereka berkata bahwa, putra raja kelak akan menjadi raja dari segala raja (Cakkavati) atau akan menjadi Buddha hanya Seorang Brahmana termuda yang bernama Kondanna, meramalkan dengan pasti bahwa sang bayi kelak akan menjadi Buddha.
Nama untuk sang bayi yang dipilih ialah Siddhartha, dengan nama keluarganya Gotama/Gautama. Siddhartha berarti: Tercapailah segala yang dicita-citakannya.
Tujuh hari setelah Pangeran Siddhartha lahir, Ratu Maya meninggal dunia. Raja Suddhodhana menikah lagi dengan Putri Pajapati, yang merupakan adik dari Ratu Maya. Ratu baru ini yang kemudian diserahkan tugas untuk merawat sang bayi.

Secepatnya seseorang dikirim untuk memberitahu Raja Suddhodhana. Diiringi para pengikut dan petani, datanglah rombongan berbondong-bondong menyaksikan kejadian yang aneh itu. Memanglah demikian. Sang pangeran kecil sedang bermeditasi, kaki bersila, tanpa menghiraukan sekelilingnya. Sama sekali dia tidak terusik dengan kebisingan sekelilingnya. Ditambah satu keganjilan lagi, ialah bayangan pohon jambu tempat pangeran bernaung tidak mengikuti perubahan letak matahari, melainkan tetap menaungi sang pangeran. Melihat peristiwa ini, untuk kedua kalinya sang raja memberi hormat kepada putranya itu. Waktu itu pangeran berusia tujuh tahun. Raja memerintahkan untuk membuat tiga buah kolam di istana, satu berisi teratai biru, yang satu lagi berisi teratai merah, dan yang terakhir berisi teratai putih. Raja juga mengeluarkan perintah agar kemana pun pangeran pergi, harus dilindungi sebuah payung indah, baik siang maupun malam. Itu adalah lambang keagungannya

ketika Pangeran Siddhattha berusia 7tahun, Ia mulai menjalani pendidikan-Nya. Kedelapan brahmana terkemuka, yang dahulu diundang raja untuk meramalkan masa depan pangeran, menjadi guru-guru-Nya yang pertama. Setelah guru-guru tersebut mengajarkan semua pengetahuannya kepada pangeran, Raja Suddhodana mengutus-Nya untuk berguru kepada guru lain bernama Sabbamitta. Brahmana Sabbamitta yang tinggal di daerah Udicca, berasal dari keturunan terkemuka dan ahli dalam bahasa dan tata bahasa, serta fasih dalam Kitab Veda dan keenam Vedanga yang terdiri dari ilmu fonetik, ilmu persajakan, tata bahasa, ilmu tafsir, ilmu perbintangan, dan upacara keagamaan.
Sang Pangeran mampu mempelajari semua mata pelajaran yang Ia terima dari guru-Nya, termasuk ilmu kemiliteran, bela diri seperti tinju, gulat, anggar, dan berkuda. Ia adalah siswa yang terpandai dan terbaik dalam segala hal bahkan menjadi lebih pandai dari guru-guru-Nya. Ia adalah siswa yang paling bijak dan satu-satunya yang banyak bertanya kepada para guru dan kakak seperguruanNya. Ia juga anak yang terkuat, tertinggi, dan tertampan di kelas. Meskipun Pangeran Siddhattha adalah siswa yang terpandai, Ia tidak pernah lalai dalam bersikap santun dan memberikan penghormatan yang sepantasnya terhadap guru-guru-Nya.
Bodhisatta tidak pernah menyia-nyiakan waktu. Ketika Ia sedang tidak ada pekerjaan, Ia akan menyendiri di tempat yang tenang dan berlatih meditasi. Dan meskipun Ia juga terlatih dalam seni memanah dan dalam pemakaian senjata, tetapi Ia tidak suka melukai makhluk lain. Ia juga menghindari pembunuhan atau penganiayaan hewan jinak sekalipun, seperti kelinci dan kijang.
Sang Pangeran mampu mempelajari semua mata pelajaran yang Ia terima dari guru-Nya, termasuk ilmu kemiliteran, bela diri seperti tinju, gulat, anggar, dan berkuda. Ia adalah siswa yang terpandai dan terbaik dalam segala hal bahkan menjadi lebih pandai dari guru-guru-Nya. Ia adalah siswa yang paling bijak dan satu-satunya yang banyak bertanya kepada para guru dan kakak seperguruanNya. Ia juga anak yang terkuat, tertinggi, dan tertampan di kelas. Meskipun Pangeran Siddhattha adalah siswa yang terpandai, Ia tidak pernah lalai dalam bersikap santun dan memberikan penghormatan yang sepantasnya terhadap guru-guru-Nya.
Bodhisatta tidak pernah menyia-nyiakan waktu. Ketika Ia sedang tidak ada pekerjaan, Ia akan menyendiri di tempat yang tenang dan berlatih meditasi. Dan meskipun Ia juga terlatih dalam seni memanah dan dalam pemakaian senjata, tetapi Ia tidak suka melukai makhluk lain. Ia juga menghindari pembunuhan atau penganiayaan hewan jinak sekalipun, seperti kelinci dan kijang.

Pada kesempatan lainnya, ketika pangeran sedang beristirahat di bawah pohon dalam waktu bermainnya bersama sahabat-sahabat-Nya dan juga sepupunya, Pangeran Devadatta, Ia tiba-tiba melihat seekor angsa jatuh dari angkasa. Ia tahu bahwa Pangeran Devadatta telah memanah angsa tersebut. Dengan segera Pangeran Siddhattha menolong si angsa. Pangeran Devadatta juga mengejar angsa itu, namun Pangeran Siddhattha berhasil terlebih dulu mengambil angsa itu dan dengan lembut Ia menarik anak panah yang menusuk angsa tersebut serta memberikan obat pada lukanya.

Setelah diajukan ke makamah para bijak, akhirnya salah satu dari para bijak tersebut berseru, “Semua makhluk patut menjadi milik mereka yang menyelamatkan atau menjaga hidup. Kehidupan tak pantas dimiliki oleh orang yang berusaha menghancurkannya. Angsa yang terluka ini masih hidup dan diselamatkan oleh Pangeran Siddhattha. Karenanya, angsa ini mesti dimiliki oleh penyelamatnya, yaitu Pangeran Siddhattha!”
Pada usia16tahun, pangeran dibuatkan tiga buah istana oleh ayahnya.Satu istana untuk musim panas (Suramma), satu untuk musim hujan (Subha), dan satu lagi untuk musim dingin (Ramma). Ketiganya besar dan indah, lengkap dengan taman penuh bunga serta tetumbuhan lain yang lindung. Semuanya dibuat serba nyaman, penuh wangi-wangian. Kehidupan dibuat supaya senang, banyak berpesta.
Kemudian raja memberi undangan kepada para orang tua yang mempunyai anak-anak gadis. Mereka diminta mengirim anak-anak gadis tersebut ke istana, untuk berpesta, supaya sang pangeran dapat memilih seorang sebagai calon istri. Namun para orang tua mengabaikan undangan tersebut. Mereka berkata, sang pangeran tidak tahu ilmu perang, tidak mengerti nilai kesenian, bagaimana dia akan memelihara serta melindungi istrinya?
Mendengar hal itu, pangeran mohon kepada ayahnya supaya diselenggarakan sayembara mengenai keterampilan berbagai ilmu perang. Para lelaki seisi kerajaan, bahkan dari luar negara Sakya pun dibiarkan datang untuk mengikuti perlombaan. Pangeran sendiri juga akan turun ke arena pertandingan itu. Hasilnya sangat mengejutkan, karena sang pangeran yang menjadi juara. Dia amat mahir, lebih-lebih di bidang panah memanah. Sesudah perlombaan selesai, diadakan pesta besar di mana hadir kurang lebih empat puluh ribu gadis cantik. Pilihan Pangeran Siddhartha jatuh pada sepupunya sendiri, saudara sekandung Devadatta ialah Yasodhara, putri Ratu Amita, adik Raja Suddhodhana.
Setelah pernikahan itu, Raja Suddhodhana agak merasa tenang, karena ayahanda pangeran itu tetap mengingati ramalan para brahmana. Sang pangeran harus selalu dikerumuni oleh semua keindahan, kemewahan, keenakan makanan, dan kenyamanan. Raja lebih senang anaknya menjadi rajanya semua raja daripada menjadi Buddha. Dengan pernikahan, pangeran akan lebih terikat oleh keduniawian. Dan jangan sampai dia melihat orang tua; orang sakit, orang mati maupun seorang pertapa. Pengawal, dayang, dan pekerja istana lain merupakan para pemuda dan pemudi pilihan: gagah, tampan dan cantik-cantik Raja merasa puas, berharap putranya akan menggantikan dia memerintah di Kerajaan Sakya.
Kemudian raja memberi undangan kepada para orang tua yang mempunyai anak-anak gadis. Mereka diminta mengirim anak-anak gadis tersebut ke istana, untuk berpesta, supaya sang pangeran dapat memilih seorang sebagai calon istri. Namun para orang tua mengabaikan undangan tersebut. Mereka berkata, sang pangeran tidak tahu ilmu perang, tidak mengerti nilai kesenian, bagaimana dia akan memelihara serta melindungi istrinya?
Mendengar hal itu, pangeran mohon kepada ayahnya supaya diselenggarakan sayembara mengenai keterampilan berbagai ilmu perang. Para lelaki seisi kerajaan, bahkan dari luar negara Sakya pun dibiarkan datang untuk mengikuti perlombaan. Pangeran sendiri juga akan turun ke arena pertandingan itu. Hasilnya sangat mengejutkan, karena sang pangeran yang menjadi juara. Dia amat mahir, lebih-lebih di bidang panah memanah. Sesudah perlombaan selesai, diadakan pesta besar di mana hadir kurang lebih empat puluh ribu gadis cantik. Pilihan Pangeran Siddhartha jatuh pada sepupunya sendiri, saudara sekandung Devadatta ialah Yasodhara, putri Ratu Amita, adik Raja Suddhodhana.
Setelah pernikahan itu, Raja Suddhodhana agak merasa tenang, karena ayahanda pangeran itu tetap mengingati ramalan para brahmana. Sang pangeran harus selalu dikerumuni oleh semua keindahan, kemewahan, keenakan makanan, dan kenyamanan. Raja lebih senang anaknya menjadi rajanya semua raja daripada menjadi Buddha. Dengan pernikahan, pangeran akan lebih terikat oleh keduniawian. Dan jangan sampai dia melihat orang tua; orang sakit, orang mati maupun seorang pertapa. Pengawal, dayang, dan pekerja istana lain merupakan para pemuda dan pemudi pilihan: gagah, tampan dan cantik-cantik Raja merasa puas, berharap putranya akan menggantikan dia memerintah di Kerajaan Sakya.

Namun tidak lama kemudian, tiba-tiba seorang lelaki tua melintas di sepanjang jalan tanpa sempat dicegah. Sang pangeran sangat terkejut dengan apa yang tampak oleh-Nya. Ia sangat terkesima dan tidak mengetahui apa yang tengah dilihat-Nya, dan Ia bertanya kepada kusir-Nya, Channa, apa yang telah dilihatNya itu. Channa menjelaskan bahwa itu disebut dengan orang tua, orang yang tidak akan hidup lama lagi, dan semua orang tanpa kecuali akan mengalami hal itu tanpa bisa dicegah. Pangeran Siddhattha segera memerintahkan Channa untuk kembali ke istana karena Ia menjadi tidak bergairah lagi untuk berkeliling kota . Ia sangat sedih dan terguncang pikirannya oleh apa yang dilihat-Nya. Ia berpikir bahwa diri-Nya sendiri, istri-Nya, ayah-Nya, ibu angkat-Nya, dan semua orang yang dicintai-Nya akan menjadi tua. Ia ingin tahu apakah ada yang bisa mencegah dan mengatasi usia lanjut ini.
Mendengar apa yang terjadi pada putranya, raja menjadi khawatir dan sedih. Ia memerintahkan orang-orangnya untuk menambah penjaga di sekitar tempat itu dan untuk menambah pelayan wanita dan gadis penari untuk menghibur sang pangeran sepanjang waktu.
Empat bulan kemudian, Pangeran Siddhattha sekali lagi memohon kepada ayah-Nya untuk keluar istana. Namun Ia tidak ingin kunjungannya diumumkan atau dipersiapkan karena Ia ingin melihat segala hal, termasuk kehidupan sehari-hari rakyat-Nya. Raja Suddhodana mengijinkan-Nya dengan berat hati karena masih merasa gundah terhadap apa yang terjadi selama kunjungan pertama pangeran. Namun, karena cinta dan kasihnya kepada putranya, ia mengijinkan pangeran melakukan kunjungan untuk kedua kalinya.
Hari kunjungan pun tiba. Ditemani oleh Channa, pangeran menyamar sebagai pemuda dari keluarga bangsawan. Ia berjalan kaki melihat-lihat kehidupan rakyatnya secara apa adanya. Tidak ada penyambutan, panji-panji ataupun penebaran bunga. Semua rakyat sibuk dengan pekerjaannya sendiri untuk mencari penghidupan. Namun ketika Ia tengah berjalan, tiba-tiba terdengar suara seorang lelaki yang menangis tersedu-sedu karena kesakitan. Pangeran mencari sumber suara itu dan menemukan seorang lelaki yang sedang berbaring di tanah sambil memegang perutnya dan berguling-guling kesakitan, wajahnya penuh dengan noda-noda hitam. Ia berusaha memohon pertolongan, tetapi tidak ada yang memperdulikannya, sebaliknya orang-orang menghindarinya. Melihat hal ini pangeran merasa terguncang untuk kedua kalinya. Dengan penuh welas asih pangeran segera mendekati orang itu, tanpa bisa dicegah oleh Channa. Pangeran yang memangku kepala orang itu berusaha menenangkan dan bertanya apa yang terjadi, namun tanpa sepatah katapun keluar dari mulut orang itu. Akhirnya pangeran bertanya kepada Channa apa yang telah terjadi. Dan Channa pun menjawab bahwa orang itu sedang sakit dan semua orang tanpa kecuali akan mengalami hal itu. Mendengar hal itu, Pangeran Siddhattha sangat sedih mengetahui semua fenomena duniawi ini. Lalu, bersama dengan Channa , Ia kembali ke istana karena tidak lagi bersemangat meneruskan kunjungan-Nya.
Setelah mengetahui apa yang telah terjadi selama kunjungan pangeran dari Channa, Raja Suddhodana kembali menjadi sedih dan memerintahkan kembali untuk memperbanyak penjaga dan jumlah pelayan dan gadis penari.
Hari kunjungan pun tiba. Ditemani oleh Channa, pangeran menyamar sebagai pemuda dari keluarga bangsawan. Ia berjalan kaki melihat-lihat kehidupan rakyatnya secara apa adanya. Tidak ada penyambutan, panji-panji ataupun penebaran bunga. Semua rakyat sibuk dengan pekerjaannya sendiri untuk mencari penghidupan. Namun ketika Ia tengah berjalan, tiba-tiba terdengar suara seorang lelaki yang menangis tersedu-sedu karena kesakitan. Pangeran mencari sumber suara itu dan menemukan seorang lelaki yang sedang berbaring di tanah sambil memegang perutnya dan berguling-guling kesakitan, wajahnya penuh dengan noda-noda hitam. Ia berusaha memohon pertolongan, tetapi tidak ada yang memperdulikannya, sebaliknya orang-orang menghindarinya. Melihat hal ini pangeran merasa terguncang untuk kedua kalinya. Dengan penuh welas asih pangeran segera mendekati orang itu, tanpa bisa dicegah oleh Channa. Pangeran yang memangku kepala orang itu berusaha menenangkan dan bertanya apa yang terjadi, namun tanpa sepatah katapun keluar dari mulut orang itu. Akhirnya pangeran bertanya kepada Channa apa yang telah terjadi. Dan Channa pun menjawab bahwa orang itu sedang sakit dan semua orang tanpa kecuali akan mengalami hal itu. Mendengar hal itu, Pangeran Siddhattha sangat sedih mengetahui semua fenomena duniawi ini. Lalu, bersama dengan Channa , Ia kembali ke istana karena tidak lagi bersemangat meneruskan kunjungan-Nya.
Setelah mengetahui apa yang telah terjadi selama kunjungan pangeran dari Channa, Raja Suddhodana kembali menjadi sedih dan memerintahkan kembali untuk memperbanyak penjaga dan jumlah pelayan dan gadis penari.
Dengan menikmati kesenangan dan kemewahan hidup istana setelah kunjungan kedua, perasaan desakan spiritual yang dirasakan-Nya menjadi sedikit berkurang. Tetapi sekitar empat bulan kemudian, Pangeran Siddhattha kembali memohon untuk keluar dari istana untuk melihat kotanya kembali lebih dekat. Dengan berat hati raja pun mengijinkannya.
Seperti halnya kunjungan kedua, pangeran menyamar sebagai pemuda dari keluarga bangsawan dan juga ditemani oleh Channa yang juga berpakaian berbeda untuk menyembunyikan identitasnya. Di tengah perjalanan, tampak oleh-Nya iring-iringan orang tiba di jalan. Orang-orang tersebut mengusung sebuah tandu yang di dalamnya terdapat seorang lelaki kurus kering terbujur kaku dan ditutupi sehelai kain serta diiringi oleh orang-orang yang menangis. Merasa heran, pangeran bertanya kepada Channa mengenai orang yang terbaring di dalam tandu tersebut. Channa pun menjelaskan bahwa orang itu telah mati, semua orang pasti akan mati tanpa terkecuali.
Pemandangan yang tidak menyenangkan ini terjadi tanpa seorang pun mampu untuk mencegahnya. Pemandangan ini sungguh menyentuh hati pangeran selama kunjungan-Nya yang ketiga itu. Pangeran Siddhattha tidak lagi bergairah meneruskan kunjungan-Nya. Diiringi oleh Channa, dengan diam Ia kembali ke istana dan memasuki kamar-Nya sendirian. Ia duduk dan merenungkan dalam-dalam apa yang baru saja dilihat-Nya. Dalam hati Ia berkata: “Alangkah mengerikannya! Setiap orang kelak akan mati dan tak seorang pun mampu mencegahnya. Harus ada cara untuk mengatasi hal ini. Akan Kucari cara agar ayah, ibu, Yasodhara, dan semua kerabat-Ku yang tercinta tak akan pernah menjadi tua, sakit, dan mati.”
Channa kembali mengabarkan kepada raja bahwa pangeran buru-buru pulang setelah melihat mayat. Mendengar hal ini raja kembali menjadi sedih. Walaupun ia telah berusaha sekuatnya untuk mencegah putranya agar tidak melihat hal-hal yang tidak menyenangkan, penampakan yang tak terduga terjadi untuk ketiga kalinya sebagaimana yang diramalkan oleh kedelapan brahmana.
Seperti halnya kunjungan kedua, pangeran menyamar sebagai pemuda dari keluarga bangsawan dan juga ditemani oleh Channa yang juga berpakaian berbeda untuk menyembunyikan identitasnya. Di tengah perjalanan, tampak oleh-Nya iring-iringan orang tiba di jalan. Orang-orang tersebut mengusung sebuah tandu yang di dalamnya terdapat seorang lelaki kurus kering terbujur kaku dan ditutupi sehelai kain serta diiringi oleh orang-orang yang menangis. Merasa heran, pangeran bertanya kepada Channa mengenai orang yang terbaring di dalam tandu tersebut. Channa pun menjelaskan bahwa orang itu telah mati, semua orang pasti akan mati tanpa terkecuali.
Pemandangan yang tidak menyenangkan ini terjadi tanpa seorang pun mampu untuk mencegahnya. Pemandangan ini sungguh menyentuh hati pangeran selama kunjungan-Nya yang ketiga itu. Pangeran Siddhattha tidak lagi bergairah meneruskan kunjungan-Nya. Diiringi oleh Channa, dengan diam Ia kembali ke istana dan memasuki kamar-Nya sendirian. Ia duduk dan merenungkan dalam-dalam apa yang baru saja dilihat-Nya. Dalam hati Ia berkata: “Alangkah mengerikannya! Setiap orang kelak akan mati dan tak seorang pun mampu mencegahnya. Harus ada cara untuk mengatasi hal ini. Akan Kucari cara agar ayah, ibu, Yasodhara, dan semua kerabat-Ku yang tercinta tak akan pernah menjadi tua, sakit, dan mati.”
Channa kembali mengabarkan kepada raja bahwa pangeran buru-buru pulang setelah melihat mayat. Mendengar hal ini raja kembali menjadi sedih. Walaupun ia telah berusaha sekuatnya untuk mencegah putranya agar tidak melihat hal-hal yang tidak menyenangkan, penampakan yang tak terduga terjadi untuk ketiga kalinya sebagaimana yang diramalkan oleh kedelapan brahmana.
Pangeran Siddhattha lebih sering menyendiri dan merenungkan ketiga pemandangan yang telah dijumpai-Nya selama berkunjung ke kota . Namun, karena merasa belum puas dengan apa yang telah Ia ketahui sekarang, Ia menjadi sangat penasaran ingin mengetahui lebih lanjut sisi lain kehidupan, yang mungkin belum pernah dilihat-Nya. Sementara itu Raja Suddhodana senantiasa berusaha menyenangkan dan mengalihkan pikiran pangeran dari ketiga peristiwa tersebut. Untuk beberapa bulan, usaha raja nampak berhasil. Tetapi sifat ingin tahu dan suka merenung dari pangeran tidak mudah tergoyahkan oleh sumua hiburan yang ada dalam istana. Dan Empat bulan kemudian, Ia kembali memohon kepada ayah-Nya untuk diperkenankan keluar istana lagi untuk berwisata ke taman kerajaan dan melihat sisi lain dari kehidupan. Raja tidak memiliki alasan apapun untuk menolak permohonan santun putranya itu.
Ditemani oleh Channa, pangeran menuju taman istana melalui Kota Kapilavatthu. Setelah sampai di taman dan ketika pangeran tengah duduk dan menikmati taman tersebut, tampak oleh-Nya seorang lelaki dengan kepala yang dicukur bersih datang dari kejauhan. Dan pangeran pun bertanya kepada Channa siapakah orang itu. Channa menjawab bahwa orang itu adalah seorang pertapa, seseorang yang meninggalkan kehidupan berkeluarga. Pangeran merasa terdorong untuk mengetahui lebih lanjut siapa pertapa itu. Bagi-Nya, petapa itu tampak mengagumkan dan mulia, tidak seperti orang lainnya. Pangeran yang merasa tidak puas dengan jawaban Channa, mendekati pertapa itu dan bertanya mengenai diri petapa tersebut. Petapa itu pun menjelaskan prihal dirinya.
Setelah pangeran mendengar penjelasan prihal diri petapa tersebut, bagaimana ia hidup, dan bagaimana ia menemukan jalan kebahagiaan atas dirinya, pangeran merasa bahagia dan menyadari bahwa adanya jalan sejati untuk mengatasi penderitaan hidup.
Ditemani oleh Channa, pangeran menuju taman istana melalui Kota Kapilavatthu. Setelah sampai di taman dan ketika pangeran tengah duduk dan menikmati taman tersebut, tampak oleh-Nya seorang lelaki dengan kepala yang dicukur bersih datang dari kejauhan. Dan pangeran pun bertanya kepada Channa siapakah orang itu. Channa menjawab bahwa orang itu adalah seorang pertapa, seseorang yang meninggalkan kehidupan berkeluarga. Pangeran merasa terdorong untuk mengetahui lebih lanjut siapa pertapa itu. Bagi-Nya, petapa itu tampak mengagumkan dan mulia, tidak seperti orang lainnya. Pangeran yang merasa tidak puas dengan jawaban Channa, mendekati pertapa itu dan bertanya mengenai diri petapa tersebut. Petapa itu pun menjelaskan prihal dirinya.
Setelah pangeran mendengar penjelasan prihal diri petapa tersebut, bagaimana ia hidup, dan bagaimana ia menemukan jalan kebahagiaan atas dirinya, pangeran merasa bahagia dan menyadari bahwa adanya jalan sejati untuk mengatasi penderitaan hidup.
Ketika Pangeran Siddhattha masih di dalam taman dan benak-Nya dipenuhi dengan gagasan untuk hidup bersih dan murni sebagai petapa, seorang kurir kerajaan yang diutus oleh Raja Suddhodana mengabarkan bahwa Putri Yasodhara telah melahirkan seorang bayi laki-laki yang tampan.
Mendengar kabar ini, pangeran justru bersedih hati dan berujar: “Sebuah belenggu telah terlahir bagi-Ku; ikatan besar telah timbul bagi-Ku ( Rãhulajãto, bandhanam jãtam )!”
Kelahiran tersebut merupakan halangan karena ia mencintai keluarga dan anak-Nya yang baru lahir.
Ia berpendapat bahwa kemelekatan pada keluarga dan putra-Nya akan merintangi niat-Nya untuk menjadi petapa, seperti yang Ia inginkan.
Mengetahui apa yang diutarakan pangeran saat menerima berita itu, Raja Suddhodana kemudian memberi nama bayi itu “Rãhula”, yang berarti “belenggu”.
Mendengar kabar ini, pangeran justru bersedih hati dan berujar: “Sebuah belenggu telah terlahir bagi-Ku; ikatan besar telah timbul bagi-Ku ( Rãhulajãto, bandhanam jãtam )!”
Kelahiran tersebut merupakan halangan karena ia mencintai keluarga dan anak-Nya yang baru lahir.
Ia berpendapat bahwa kemelekatan pada keluarga dan putra-Nya akan merintangi niat-Nya untuk menjadi petapa, seperti yang Ia inginkan.
Mengetahui apa yang diutarakan pangeran saat menerima berita itu, Raja Suddhodana kemudian memberi nama bayi itu “Rãhula”, yang berarti “belenggu”.
Keempat peristiwa agung terjadi satu per satu. Apa yang telah diramalkan kedelapan brahmin cendekia menjadi kenyataan.
Di istana kediamannya, Raja Suddhodana tengah mengadakan pesta besar-besaran. Makan malam besar disajikan dan beberapa pelayan wanita cantik disiapkan untuk melayani sang pangeran untuk merayakan kelahiran cucu Raja Suddhodana - Rãhula, yang lahir pagi itu.
Sang pangeran, yang baru saja kembali dan perjalanan-Nya yang berbahagia, tampak lebih bahagia dibandingkan perjalanan sebelumnya. Ia berbahagia karena mengetahui bahwa cara untuk mencapai kebahagiaan sejati adalah dengan melepaskan keduniawian dan menjadi petapa.
Bagaimanapun juga, pangeran tidak ingin mengecewakan ayah-Nya. Dengan tenang Ia menyantap makan malam tanpa merasa tertarik dengan nyanyian dan tarian yang disuguhkan untuk-Nya. Benak-Nya dipenuhi dengan keinginan untuk membebaskan semua makhluk dan usia tua, penyakit, dan kematian, yang semuanya menyengsarakan, menekan, dan menyedihkan.
Sekitar pertengahan malam, Pangeran Siddhattha terbangun. Ia duduk bersilang kaki di bangku, lalu melihat sekeliling. Semua gadis penari, penyanyi, dan pemusik tengah tidur mlang melintang di lantai kamar itu. Pangeran merasa sangat jijik dengan pemandangan ini; mereka semua tak ada bedanya dengan mayat di kuburan.
Pangeran Siddhattha, semakin tak melekat pada kelima objek kenikmatan indrawi, yang semuanya bukan merupakan kebahagiaan sejati, namun sebaliknya menimbulkan kesulitan dan derita yang lebih mendalam.
Tekad Pangeran Siddhattha semakin kuat. Inilah waktunya untuk meninggalkan kehidupan rumah tangga. Ia lalu meninggalkan kamar itu perlahan-lahan dan Ia melihat Channa, yang tengah tidur dengan membaringkan kepalanya di ambang pintu. Pangeran Siddhattha membangunkannya dan meminta untuk mempersiapkan Kanthaka, kuda-Nya.
Channa menaati permintaan-Nya. Segera Ia membawa tali kekang dan beberapa perlengkapan lainnya yang dibutuhkan, lalu menuju ke kandang kuda kerajaan. Sementara itu, Pangeran Siddhattha merasa bahwa Ia perlu menengok isteri dan putra-Nya yang baru lahir sebelum meninggalkan keduniawian.
Dengan hati penuh cinta, pangeran berdiri diam di pintu sambil memandangi mereka. Ia tak berani memindahkan tangan Putri Yasodhara dan menimang putra-Nya kendatipun Ia sangat ingin melakukannya, karena Ia tidak menginginkan Putri Yasodhara terjaga dan tidak mengijinkan-Nya pergi. Setelah bertekad bulat, Ia keluar dan kamar tersebut dan menutup pintu perlahan-lahan.
Channa dan Kanthaka sudah siap dan menunggu pangeran di depan istana kediaman-Nya. Pada malam purnama, bulan Asalha, 594 S.M, di usia ke 29 tahun, pada waktu jaga pertengahan malam, diam-diam Pangeran Siddhattha meninggalkan istana dengan menunggangi Kanthaka. Channa, yang terlahir pada hari yang sama dengan sang pangeran, ikut meninggalkan istana dengan berpegangan pada ekor kuda tersebut. Mereka berhasil menerobos ketatnya penjagaan dan meninggalkan Kota Kapilavatthu.
Di istana kediamannya, Raja Suddhodana tengah mengadakan pesta besar-besaran. Makan malam besar disajikan dan beberapa pelayan wanita cantik disiapkan untuk melayani sang pangeran untuk merayakan kelahiran cucu Raja Suddhodana - Rãhula, yang lahir pagi itu.
Sang pangeran, yang baru saja kembali dan perjalanan-Nya yang berbahagia, tampak lebih bahagia dibandingkan perjalanan sebelumnya. Ia berbahagia karena mengetahui bahwa cara untuk mencapai kebahagiaan sejati adalah dengan melepaskan keduniawian dan menjadi petapa.
Bagaimanapun juga, pangeran tidak ingin mengecewakan ayah-Nya. Dengan tenang Ia menyantap makan malam tanpa merasa tertarik dengan nyanyian dan tarian yang disuguhkan untuk-Nya. Benak-Nya dipenuhi dengan keinginan untuk membebaskan semua makhluk dan usia tua, penyakit, dan kematian, yang semuanya menyengsarakan, menekan, dan menyedihkan.
Sekitar pertengahan malam, Pangeran Siddhattha terbangun. Ia duduk bersilang kaki di bangku, lalu melihat sekeliling. Semua gadis penari, penyanyi, dan pemusik tengah tidur mlang melintang di lantai kamar itu. Pangeran merasa sangat jijik dengan pemandangan ini; mereka semua tak ada bedanya dengan mayat di kuburan.
Pangeran Siddhattha, semakin tak melekat pada kelima objek kenikmatan indrawi, yang semuanya bukan merupakan kebahagiaan sejati, namun sebaliknya menimbulkan kesulitan dan derita yang lebih mendalam.
Tekad Pangeran Siddhattha semakin kuat. Inilah waktunya untuk meninggalkan kehidupan rumah tangga. Ia lalu meninggalkan kamar itu perlahan-lahan dan Ia melihat Channa, yang tengah tidur dengan membaringkan kepalanya di ambang pintu. Pangeran Siddhattha membangunkannya dan meminta untuk mempersiapkan Kanthaka, kuda-Nya.
Channa menaati permintaan-Nya. Segera Ia membawa tali kekang dan beberapa perlengkapan lainnya yang dibutuhkan, lalu menuju ke kandang kuda kerajaan. Sementara itu, Pangeran Siddhattha merasa bahwa Ia perlu menengok isteri dan putra-Nya yang baru lahir sebelum meninggalkan keduniawian.
Dengan hati penuh cinta, pangeran berdiri diam di pintu sambil memandangi mereka. Ia tak berani memindahkan tangan Putri Yasodhara dan menimang putra-Nya kendatipun Ia sangat ingin melakukannya, karena Ia tidak menginginkan Putri Yasodhara terjaga dan tidak mengijinkan-Nya pergi. Setelah bertekad bulat, Ia keluar dan kamar tersebut dan menutup pintu perlahan-lahan.
Channa dan Kanthaka sudah siap dan menunggu pangeran di depan istana kediaman-Nya. Pada malam purnama, bulan Asalha, 594 S.M, di usia ke 29 tahun, pada waktu jaga pertengahan malam, diam-diam Pangeran Siddhattha meninggalkan istana dengan menunggangi Kanthaka. Channa, yang terlahir pada hari yang sama dengan sang pangeran, ikut meninggalkan istana dengan berpegangan pada ekor kuda tersebut. Mereka berhasil menerobos ketatnya penjagaan dan meninggalkan Kota Kapilavatthu.
Pangeran Siddhattha menunggangi si kuda putih Kanthaka yang melesat dengan kencang. Namun setelah sesaat perjalanan, sebuah gagasan muncul pada-Nya untuk memandangi Kapilavatthu. Ia menghentikan kuda istana itu dan membalikkan badan untuk memandangi kota tersebut untuk terakhir kalinya. Tepat di tempat kuda istana Kanthaka berhenti itu akhirnya dibangun sebuah kuil suci (cetiya) yang disebut Cetiya Kanthakanivatta. Setelah itu, Ia melanjutkan perjalanan-Nya melewati tiga kerajaan, yaitu: Sãkya, Koliya, dan Malla. Sepanjang malam, Ia menempuh jarak sejauh tiga puluh yojana (satu yojana setara dengan dua belas mil) Akhirnya Ia tiba di tepi Sungai Anoma dan menyeberanginya.
Saat itu hari telah pagi. Pangeran Siddhattha turun dan punggung Kanthaka. Ia meminta Channa untuk pulang kembali ke Kapilavatthu bersama dengan Kanthaka serta tanda kebesaran kerajaan, dan meninggalkan-Nya seorang diri. Channa memohon untuk mengikuti-Nya menjadi petapa, tapi Pangeran Siddhattha melarangnya. Setelah Pangeran Siddhattha menyerahkan Kuda Kanthaka beserta tanda kebesaran kerajaan-Nya, Ia menghunus pedang dan memotong rambut-Nya yang panjang. Lalu, dilemparkan-Nya rambut itu ke udara. Kini rambut-Nya sepanjang lebar dua jari dan tidak memanjang lagi sampai akhir hayat-Nya.
Setelah itu, Ia menukar pakaian-Nya dengan pakaian petapa, dan Ia memerintahkan Channa untuk segera kembali ke Kapilavatthu. Channa memberi sembah kepada Bodhisatta dengan sangat hormat, membawa serta tanda kebesaran kerajaan dan kuda kerajaan Kanthaka, lalu pergi meningggalkan Bodhisatta seorang diri.
Dalam perjalanan pulang, Kanthaka yang bersedih sejak perpisahan itu, tidak lagi dapat menahan dukanya, dan akhirnya meninggal di perjalanan. Setelah berpisah dengan dua sahabat akrabnya, Channa akhirnya melanjutkan perjalanan ke Kapilavatthu sambil meratap dan menangis
Saat itu hari telah pagi. Pangeran Siddhattha turun dan punggung Kanthaka. Ia meminta Channa untuk pulang kembali ke Kapilavatthu bersama dengan Kanthaka serta tanda kebesaran kerajaan, dan meninggalkan-Nya seorang diri. Channa memohon untuk mengikuti-Nya menjadi petapa, tapi Pangeran Siddhattha melarangnya. Setelah Pangeran Siddhattha menyerahkan Kuda Kanthaka beserta tanda kebesaran kerajaan-Nya, Ia menghunus pedang dan memotong rambut-Nya yang panjang. Lalu, dilemparkan-Nya rambut itu ke udara. Kini rambut-Nya sepanjang lebar dua jari dan tidak memanjang lagi sampai akhir hayat-Nya.
Setelah itu, Ia menukar pakaian-Nya dengan pakaian petapa, dan Ia memerintahkan Channa untuk segera kembali ke Kapilavatthu. Channa memberi sembah kepada Bodhisatta dengan sangat hormat, membawa serta tanda kebesaran kerajaan dan kuda kerajaan Kanthaka, lalu pergi meningggalkan Bodhisatta seorang diri.
Dalam perjalanan pulang, Kanthaka yang bersedih sejak perpisahan itu, tidak lagi dapat menahan dukanya, dan akhirnya meninggal di perjalanan. Setelah berpisah dengan dua sahabat akrabnya, Channa akhirnya melanjutkan perjalanan ke Kapilavatthu sambil meratap dan menangis
Setelah menjadi petapa, Bodhisatta tinggal di hutan mangga yang disebut Anupiya tidak jauh dari Sungai Anomã selama 7 hari pertama, dan kemudian Ia pergi menuju ke Rajagaha, ibukota Kerajaan Magadha. Di Rajagaha, Ia menolak tawaran Raja Bimbisara yang akan memberikan separuh kekuasaannya setelah mengetahui identitas Bodhisatta.
Setelah itu, Ia melanjutkan perjalanan dengan menuruni Bukit Pandava dan menuju ke Kota Vesali, tempat seorang guru agama yang ternama, Alara Kalama yang tinggal bersama para siswanya. Di sana Bodhisatta bergabung dan menjadi siswa dari Alara Kalama.
Dalam waktu singkat karena memiliki kepandaian yang luar biasa, Bodhisatta telah mampu menguasai ilmu yang diajarkan oleh Alara Kalama bahkan mencapai pencapaian yang sama dengan guru-Nya itu. Namun setelah merenungkan sifat dan manfaat dari pencapaian-Nya ini, Ia menyimpulkan bahwa ajaran yang Ia praktikkan tersebut tidaklah membawa pada Pembebasan Sejati. Oleh karena itu Ia mohon pamit kepada guru-Nya untuk melanjutkan pencariannya atas jawaban terhadap persoalan hidup dan mati, usia tua, dan penyakit, yang senantiasa dipikirkan-Nya.
Kemudian Bodhisatta meninggalkan Vesali dan berjalan menuju Negeri Magadha. Ia menyeberangi Sungai Mahi, dan sejenak kemudian sampai di sebuah pertapaan lain di tepi sungai itu. Pertapaan itu dipimpin oleh seorang guru agama yang sangat dihormati. Bernama Uddaka Ramaputta (Uddaka, putra Rama). Kemudian Bodhisatta pun bergabung dan menjadi siswa dari Uddaka Ramaputta. Dalam waktu yang singkat pula, Ia mampu menguasai ilmu yang diajarkan oleh Uddaka Ramaputta bahkan melampauinya. Namun, Bodhisatta segera mengetahui bahwa pencapaian-Nya itu bukanlah apa yang Ia cari. Karena tidak puas dengan pencapaian-Nya itu. Ia meninggalkan pertapaan Uddaka Ramaputta
Setelah itu, Ia melanjutkan perjalanan dengan menuruni Bukit Pandava dan menuju ke Kota Vesali, tempat seorang guru agama yang ternama, Alara Kalama yang tinggal bersama para siswanya. Di sana Bodhisatta bergabung dan menjadi siswa dari Alara Kalama.
Dalam waktu singkat karena memiliki kepandaian yang luar biasa, Bodhisatta telah mampu menguasai ilmu yang diajarkan oleh Alara Kalama bahkan mencapai pencapaian yang sama dengan guru-Nya itu. Namun setelah merenungkan sifat dan manfaat dari pencapaian-Nya ini, Ia menyimpulkan bahwa ajaran yang Ia praktikkan tersebut tidaklah membawa pada Pembebasan Sejati. Oleh karena itu Ia mohon pamit kepada guru-Nya untuk melanjutkan pencariannya atas jawaban terhadap persoalan hidup dan mati, usia tua, dan penyakit, yang senantiasa dipikirkan-Nya.
Kemudian Bodhisatta meninggalkan Vesali dan berjalan menuju Negeri Magadha. Ia menyeberangi Sungai Mahi, dan sejenak kemudian sampai di sebuah pertapaan lain di tepi sungai itu. Pertapaan itu dipimpin oleh seorang guru agama yang sangat dihormati. Bernama Uddaka Ramaputta (Uddaka, putra Rama). Kemudian Bodhisatta pun bergabung dan menjadi siswa dari Uddaka Ramaputta. Dalam waktu yang singkat pula, Ia mampu menguasai ilmu yang diajarkan oleh Uddaka Ramaputta bahkan melampauinya. Namun, Bodhisatta segera mengetahui bahwa pencapaian-Nya itu bukanlah apa yang Ia cari. Karena tidak puas dengan pencapaian-Nya itu. Ia meninggalkan pertapaan Uddaka Ramaputta
Setelah meninggalkan pertapaan Uddaka Ramaputta, Petapa Gotama menuju ke Senanigama (kota niaga Senani) di Hutan Uruvela. Ketika disanalah Petapa Gotama bertemu dengan 5 orang petapa (pancavaggiya) yang terdiri dari Kondanna, Vappa, Mahanama, Assaji dan Bhaddiya.
Selama di Hutan Uruvela, Petapa Gotama menjalankan latihan tapa yang paling berat (dukkaracariya), yang sulit dipratikkan oleh orang biasa. Ia menyatakan tekad usaha kuat beruas empat yang dikenal sebagai padhana-viriya, sebagai berikut: “Biarlah hanya kulit-Ku yang tertinggal! Biarlah hanya urat daging-Ku yang tertinggal! Biarlah hanya tulang belulang-Ku yang tertinggal! Biarlah daging dan darah-Ku mengering!” Dengan tekad ini, Ia tak akan mundur sejenak pun, namun akan melakukan usaha sekuat tenaga dalam praktik itu.
Dalam praktik pertapaan yang keras tersebut, Petapa Gotama berlatih untuk mengurangi makan sedikit demi sedikit hingga tidak makan sama sekali. Karena melakukan hal tersebut, tubuh-Nya berangsur-angsur menjadi semakin kurus dan akhirnya hanya tinggal tulang belulang. Karena kurang makan, sendi-sendi dalam tubuh dan anggota tubuh-Nya menyembul seperti sendi rerumputan atau tanaman menjalar yang disebut asitika atau kala (Latin: Polygonum aviculare dan S. lacustris).

Enam tahun sudah Petapa Gotama menjalankan pertapaan yang keras dan tiba pada tahap kritis dimana Ia berada di ambang kematian. Hingga suatu hari ketika berjalan-jalan, Ia pingsan dan terjerembab karena tubuh-Nya dilanda panas yang tak tertahankan dan karena kurang makan berhari-hari. Ketika itu, seorang anak laki-lagi pengembala kebetulan lewat di tempat terjatuhnya Petapa Gotama. Setelah membangunkan Petapa Gotama, anak gembala itu menyuapkan air susu kambing bagi-Nya
Selama di Hutan Uruvela, Petapa Gotama menjalankan latihan tapa yang paling berat (dukkaracariya), yang sulit dipratikkan oleh orang biasa. Ia menyatakan tekad usaha kuat beruas empat yang dikenal sebagai padhana-viriya, sebagai berikut: “Biarlah hanya kulit-Ku yang tertinggal! Biarlah hanya urat daging-Ku yang tertinggal! Biarlah hanya tulang belulang-Ku yang tertinggal! Biarlah daging dan darah-Ku mengering!” Dengan tekad ini, Ia tak akan mundur sejenak pun, namun akan melakukan usaha sekuat tenaga dalam praktik itu.
Dalam praktik pertapaan yang keras tersebut, Petapa Gotama berlatih untuk mengurangi makan sedikit demi sedikit hingga tidak makan sama sekali. Karena melakukan hal tersebut, tubuh-Nya berangsur-angsur menjadi semakin kurus dan akhirnya hanya tinggal tulang belulang. Karena kurang makan, sendi-sendi dalam tubuh dan anggota tubuh-Nya menyembul seperti sendi rerumputan atau tanaman menjalar yang disebut asitika atau kala (Latin: Polygonum aviculare dan S. lacustris).

Enam tahun sudah Petapa Gotama menjalankan pertapaan yang keras dan tiba pada tahap kritis dimana Ia berada di ambang kematian. Hingga suatu hari ketika berjalan-jalan, Ia pingsan dan terjerembab karena tubuh-Nya dilanda panas yang tak tertahankan dan karena kurang makan berhari-hari. Ketika itu, seorang anak laki-lagi pengembala kebetulan lewat di tempat terjatuhnya Petapa Gotama. Setelah membangunkan Petapa Gotama, anak gembala itu menyuapkan air susu kambing bagi-Nya
MARA DATANG DAN BERPURA-PURA BAIK UNTUK MENCEGAH BODDHISAT
Selama enam tahun, Màra tidak berhasil menemukan pikiran-pikiran seperti ini dalam diri Bodhisatta.
Setelah enam tahun berlalu, Màra berpikir, “Pangeran Siddhattha memiliki semangat yang sangat tinggi. Dukkaracariya yang Beliau praktikkan juga sangat keras. Setiap saat Beliau dapat menjadi Buddha. Bagaimana jika aku mendekati-Nya dan memberikan nasihat, supaya Beliau berhenti latihan.” Kemudian Màra mendekati Bodhisatta dan menasihati-Nya. (Setelah mencapai Pencerahan Sempurna, Buddha memberikan khotbah kepada para bhikkhu, khotbah yang berjudul Padhàna Sutta, menjelaskan bagaimana Màra membujuk-Nya dengan cara berpura-pura baik dan bagaimana Bodhisatta dengan tegas mengusirnya.)
Mendekati Bodhisatta yang terus menerus mengembangkan appànaka Jhàna di Hutan Uruvelà di dekat Neranjarà dengan cita-cita mencapai Nibbàna, Màra berkata:
“O Sahabatkku Pangeran Siddhattha, seluruh tubuh-Mu begitu kurus karena kehilangan daging dan darah. Kecantikan dan warna kulitnya telah memudar. Kematian-Mu telah mendekat; kesempatan untuk tetap hidup sangatlah kecil, hanya satu dibandingkan seribu. O Pangeran Siddhattha, mohon Engkau menjaga diri-Mu sehingga Engkau dapat berumur panjang. Umur yang panjang adalah hal yang paling berharga. Jika Engkau berumur panjang. Engkau dapat banyak melakukan kebajikan. Engkau dapat mengembangkan kebajikan dengan menjalani sãla atau melakukan upacara-upacara pengorbanan. Apalah gunanya menjalani hidup seperti ini di dalam hutan dan mempraktikkan penyiksaan diri dengan begitu menderita dan begitu lemah tanpa mengetahui apakah Engkau dapat bertahan hidup atau mati. (Tidak ada manfaatnya bagi-Mu). Untuk mencapai tujuan-Mu, Nibbàna.”
Demikianlah Màra berkata, terlihat seolah-olah penuh welas asih, seolah-olah ia berniat baik kepada Bodhisatta, dan seolah-olah ia mengasihani Bodhisatta. (Orang biasa pasti termakan oleh bujukan Màra.)
Namun, mendengarkan kata-kata yang penuh welas asih dari Màra, Bodhisatta berkata dengan tegas kepada Màra; sebagai berikut:
“Wahai Màra, Engkau yang mengikat para makhluk—dewa, brahmà, dan manusia—agar mereka tidak dapat terbebaskan dari samsàra! Engkau datang demi keuntunganmu pribadi dan dengan maksud-maksud tersembunyi bertujuan untuk mengganggu dan mencelakakan makhluk-makhluk lain.” (Dengan kata-kata ini Bodhisatta mengusir Màra yang bermaksud jahat terhadap-Nya.)
“Wahai Màra, ada makhluk-makhluk yang tidak memiliki keyakinan (saddhà) sama sekali terhadap Nibbàna; ada yang memiliki keyakinan tetapi usahanya (viriya) lemah; ada yang memiliki keyakinan dan usaha yang kuat tetapi tidak memiliki kebijaksanaan (pannà), Engkau sebaiknya berbicara kepada mereka dan mendorong mereka untuk berumur panjang. Sedangkan Aku, Aku memiliki keyakinan bahwa, jika Aku berusaha keras, Aku akan mencapai Nibbàna bahkan dalam kehidupan ini juga ketika jasmani-Ku lenyap. Aku memiliki api semangat yang berkobar-kobar yang mampu membakar rumput-rumput kering dan sampah-sampah kotoran batin menjadi abu. Aku memiliki kebijaksanaan yang seperti bom milik Sakka yang dapat menghancurkan gunung karang kebodohan (avijjà) menjadi berkeping-keping. Aku juga memiliki perhatian (sati) dan konsentrasi (samàdhi), perhatian yang memungkinkan Aku untuk menjadi Buddha yang tidak lupa akan apa yang pernah dilakukan dan diucapkan di waktu-waktu lalu; dan konsentrasi yang tetap berdiri kokoh dalam menghadapi angin badai, bagaikan pilar batu berukir yang tidak tergoyahkan oleh badai. Dengan memiliki lima kualitas, Aku akan mencapai pantai seberang Nibbàna. Aku bekerja keras bahkan dengan mempertaruhkan hidup-Ku. Kepada orang seperti Aku, untuk apakah Engkau membicarakan mengenai umur panjang dan untuk apa membujuk-Ku untuk hidup lebih lama? Sebenarnya, tidak ada gunanya hidup bahkan selama satu hari sebagai manusia bagi mereka yang berusaha dengan rajin dan tidak pernah menyerah, yang memiliki Pandangan Cerah melalui Appanà samàdhi dan yang melihat dengan jelas timbul dan lenyapnya kelompok-kelompok jasmani dan batin.” (Dengan kata-kata ini Bodhisatta melawan Màra yang menakut-nakuti-Nya dengan mengatakan, “O Pangeran Siddhattha, kematian-Mu sudah mendekat, kesempatan-Mu untuk tetap hidup sangatlah kecil. Mendengar kata-kata berani yang diucapkan oleh Bodhisatta, Màra pergi dari tempat itu tanpa bisa memberikan jawaban apa-apa.
PENCAPAIAN KE-BUDDHA-AN SETELAH MENGUBAH CARA BERLATIH
Setelah Bodhisatta menyelesaikan praktik penyiksaan diri, dukkaracariya, selama enam tahun, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, saat itu adalah awal bulan Vesàkha (April-Mei) setelah bulan Citta (Maret-April) tahun 103 Mahà Era. Pada waktu itu Bodhisatta berpikir:
Meskipun Aku telah berusaha sungguh-sungguh dengan cara demikian, Aku tetap tidak mencapai Pencerahan Sempurna, Sabbannuta Nàna; Aku belum menembus Ke-Buddha-an. Mungkin ada cara lain untuk mempraktikkan jalan lain untuk mencapai Pencerahan Sempurna, Sabbannuta Nàna, untuk menembus Kebuddhaan.”
Pada waktu merenungkan demikian, Beliau teringat bahwa Beliau pernah mengembangkan dan mencapai Jhàna Pertama ànàpàna ketika duduk di bawah keteduhan pohon jambu (Eugenia jambolana) sewaktu upacara pembajakan sawah yang diselenggarakan oleh ayah-Nya, Raja Suddhodana, Beliau menyadari kemudian bahwa praktik Jhàna Pertama ànàpàna pasti adalah jalan yang benar, cara yang benar untuk mencapai Sabbannuta Nàna (Ke-Maha-Tahu-an), penembusan Kebuddhaan. Beliau merenungkan lebih jauh, “Mengapa Aku takut akan kebahagiaan Jhàna yang diperoleh dari meditasi konsentrasi ànàpàna; itu adalah kebahagiaan yang muncul secara murni dari melepaskan keduniawian (nekkhamma) dan sama sekali tidak melekat pada objek-objek nafsu materi dan kenikmatan indria. Aku seharusnya tidak takut akan kebahagiaan Jhàna dari meditasi konsentrasi ànàpàna.”
Beliau kembali merenungkan, “Aku tidak akan mampu mengembangkan meditasi konsentrasi ànàpàna itu dengan tubuh-Ku yang lelah dan lemah ini. Lebih baik jika Aku memakan makanan yang padat dan kasar seperti nasi untuk memulihkan dan menyegarkan tubuh yang kurus ini sebelum Aku berusaha mencapai Jhàna melalui meditasi konsentrasi ànàpàna.”
Setelah mempertimbangkan demikian, Bodhisatta mengambil mangkuk-Nya pergi ke Kota Sena untuk mengumpulkan dàna makanan untuk memulihkan tubuh-Nya dengan makanan apa pun yang Beliau terima. Dalam dua atau tiga hari Beliau memperoleh kembali kekuatan dan tanda-tanda fisik utama dari seorang manusia luar biasa (Mahàpurisa Lakkhanà) yang telah lenyap saat Beliau mempraktikkan dukkaracariya dan kemudian muncul kembali dengan jelas dalam bentuk aslinya. Pada waktu itu tubuh fisik Bodhisatta terlihat kuning segar seperti warna emas.
DANA MAKANAN DARI SUJATA

Dana Nasi Susu Ghana dari Sujata
Setelah mengalami lima mimpi dan menafsirkan sendiri mimpi tersebut, Bodhisatta berkesimpulan:” Pasti Aku akan mencapai Kebuddhaan hari ini juga.” Dan pada saat fajar menyingsing (pagi hari purnama), Beliau membersihkan badan-Nya dan pergi dari tempat itu, dan ketika Beliau tiba di pohon banyan yang setiap tahunnya dikunjungi oleh Sujàtà, putri seorang kaya, Beliau berhenti dan duduk di bawah pohon itu menghadap ke timur sambil menunggu waktu untuk mengumpulkan dàna makanan, dan pada saat itu seluruh pohon banyan itu bersinar terang dengan cahaya yang memancar dari tubuh-Nya.
Pada waktu itu, di Kota Sena, yang terletak di tepi Hutan Uruvela, Sujàtà, putri seorang kaya bernama Senàni, saat usianya menginjak dewasa, berdoa di bawah pohon banyan, “O dewa penjaga pohon banyan, jika aku menikah dengan seorang kaya dari kasta yang sama, aku akan mempersembahkan dàna nasi susu ghana.” Doa Sujàtà telah terkabul. Jadi putri orang kaya, Sujàtà menepati janjinya untuk mempersembahkan nasi susu ghana pada hari purnama di bulan Vesàkha setiap tahunnya.
Persiapan yang dilakukan oleh Sujàtà untuk mengadakan upacara persembahan kepada dewa penjaga pohon banyan pada hari purnama di bulan Vesàkha ketika Bodhisatta telah menyelesaikan enam tahun praktik dukkaracariya adalah sebagai berikut:
(1) Pertama-tama ia membiarkan seribu ekor sapi susu merumput di hutan, kemudian susu yang diperoleh dari seribu ekor sapi susu ini diberikan sebagai makanan bagi lima ratus sapi susu lainnya.
(2) Susu yang berasal dari lima ratus sapi susu itu, diberikan sebagai makanan bagi dua ratus lima puluh sapi susu lainnya lagi.
(3) Susu yang berasal dari dua ratus lima puluh sapi susu itu, diberikan sebagai makanan bagi seratus dua puluh lima sapi susu lainnya lagi
(4) Susu yang berasal dari seratus dua puluh lima sapi itu diberikan sebagai makanan kepada enam puluh empat sapi susu lainnya.
(5) Susu yang berasal dari enam puluh empat sapi itu diberikan sebagai makanan kepada tiga puluh dua sapi susu lain.
(6) Susu yang berasal dari tiga puluh dua sapi itu diberikan sebagai makanan bagi enam belas sapi lain.
(7) Susu yang berasal dari enam belas sapi susu itu, diberikan sebagai makanan bagi delapan sapi lain.
Demikianlah, Sujàtà mengambil langkah-langkah ini untuk memperoleh susu yang lezat dan bergizi untuk membuat nasi susu.
Dengan tujuan, “Aku akan melakukan persembahan nasi susu ghana pagi-pagi hari ini.” Sujàtà bangun pagi-pagi pada hari purnama di bulan Vesàkha kemudian memerah delapan sapi susu itu. Anak-anak sapi (yang tidak diikat dengan tali) tidak berani mendekati sapi-sapi ibunya. Anehnya ketika mangkuk susu ditempatkan tepat di bawah ambing sapi, susu mengalir deras terus menerus meskipun tidak diperah. Sujàtà, menyaksikan peristiwa ajaib ini, mengulurkan tangannya menuangkan susu yang mengalir terus-menerus tersebut ke dalam kendi baru dan menyalakan api dengan tangan lainnya, mulai memasak nasi susu ghana.
MARA MENYERANG DENGAN SEMBILAN JENIS PELURU

Mara menyerang dengan berbagai senjata kesaktiannya
Sewaktu Bodhisatta sedang merenungkan Sepuluh Kesempurnaan, Màra membuat rencana, “Dengan menembakkan sembilan jenis peluru. Aku akan memaksa Pangeran Siddhattha untuk melarikan diri.”
- Pertama, ia melepaskan pusaran angin kencang. Tiba-tiba, angin timur, angin barat, angin selatan, dan angin utara bertiup kencang; dan meskipun angin ini mampu meruntuhkan puncak gunung yang berukuran setengah yojanà, satu yojanà, dua atau tiga yojanà, dan mampu mencabut pohon-pohon dan semak belukar di dalam hutan; dan mampu menghancurkan desa-desa dan kota-kota di sekitar sana, namun tidak mampu mendekati Bodhisatta dan bahkan tidak mampu menggerakkan ujung jubah-Nya karena keagungan dan kekuatan kebajikan Bodhisatta.
- Dengan penuh harapan Màra berpikir:”Saat ini, Petapa Gotama pasti telah terbang tertiup oleh peluru, seperti yang kutembakkan dan menghantam gunung ‘Cakkavala’ dan hancur berkeping-keping.” Ia menjadi gusar melihat Bodhisatta duduk seperti semula, tidak tergoyahkan, tegak bagaikan tiang pintu gerbang. Kemudian ia merencanakan; “Aku akan membunuh-Nya dengan menenggelamkan-Nya di dalam arus air yang mengalir kencang.” Ia menciptakan awan mendung dalam sekejap dan hujan deras turun dengan segera. Bumi ini berubah menjadi lembah karena tekanan hujan yang diciptakan oleh Dewa Màra. Saat banjir ini, setelah mengikis dan menghanyutkan hutan-hutan, bukit, dan pohon-pohon, namun setelah mendekati Buddha, air ini tidak mampu membasahi bahkan sehelai benang pun dari jubah Bodhisatta; ia mengubah arah aliran-Nya dan mengalir ke tempat lain tanpa menyentuh Bodhisatta.
- Menyaksikan fenomena ini, Màra merencanakan, “Aku akan mengubah Pangeran Siddhattha ini menjadi debu dengan menghujaninya dengan batu,” dan menciptakan hujan batu. Batu-batu berukuran sangat besar berjatuhan dari angkasa sebesar puncak gunung yang besar, sehingga menyebabkan kabut debu di mana-mana; namun begitu mendekati Bodhisatta, batu-batu ini berubah menjadi karangan bunga surgawi dan bola-bola bunga.
- Setelah itu, dengan pikiran, “Aku akan menyebabkan kematian bagi Pangeran Siddhattha ini, aku akan membunuh-Nya, dan mengalahkan-Nya,” Ia melepaskan hujan senjata. Segala jenis lain-lain yang memancarkan asap dan api, datang dan melayang dari angkasa hanya untuk berubah menjadi karangan bunga, dan lain-lain, di sekeliling pohon Mahàbodhi.
- Meskipun Màra berpikir, “Pangeran Siddhattha akan menjadi seperti tumpukan daging cincang,” Ia terkejut ketika melihat bahwa Pangeran Siddhattha tetap duduk seperti semula tanpa terganggu sedikit pun bagaikan gunung berlian besar. Jadi sekali lagi ia menciptakan hujan batu-batu yang menyala terbakar. Batu-batu menyala itu jatuh berkobar namun segera berubah menjadi bunga melati, dan lain-lain sewaktu mendekati Bodhisatta.
- Setelah itu, Màra menciptakan hujan abu panas. Abu yang sangat panas bagaikan api turun dari langit namun berubah menjadi bubuk cendana sewaktu mencapai kaki Bodhisatta.
- Lagi, ia menciptakan hujan pasir panas. Pasir dalam bentuk bubuk yang sangat halus turun dari angkasa dan jatuh di kaki Bodhisatta menjadi bunga-bunga surgawi.
- Setelah itu, ia menciptakan hujan lumpur panas. Lumpur panas dengan kepulan asap dan api yang berkobar-kobar dari angkasa jatuh di kaki Bodhisatta setelah berubah menjadi pasta wangi-wangian surgawi.
- Setelah itu, ia menciptakan kabut gelap dengan niat, “Aku akan membuat Pangeran Siddhattha melarikan diri dengan menakut-nakuti-Nya dengan kabut kegelapan.” Kegelapan yang diciptakan Màra bagaikan kegelapan yang dihasilkan oleh empat faktor yaitu: malam bulan muda, dengan langit yang ditutupi awan, di tengah-tengah hutan belantara, namun begitu mendekati Bodhisatta, kabut ini menghilang seperti kegelapan yang sirna dengan munculnya cahaya matahari.(Di sini, mengetahui bahwa Màra menciptakan awan kegelapan, Bodhisatta memancarkan sinar dari tubuh-Nya yang berukuran seperti bulu-bulu badan-Nya. Harus dipahami, jaringan sinar-sinar inilah yang menghancurkan kegelapan total yang diciptakan oleh Màra dan yang menghasilkan cahaya gilang gemilang.)
DETIK-DETIK KEMENANGAN BODDHISATTA PETAPA GOTAMA ATAS MARA DAN PASUKANNYA

Senjata Mara yang ditujukan pada Boddhisatta berubah menjadi Teratai
Mara berusaha dengan keras untuk menaklukkan Boddhisatta Petapa Gotama dengan berbagai kesaktian dan tipu-dayanya. Namun Boddhisatta Petapa Gotama, dengan Welas-Asihnya, mampu mematahkan berbagai serangan yang dilancarkan oleh Mara.
Tidak tahu apa yang harus dilakukan lagi, panik serta marah, ia meneriakkan perintah (kepada pasukannya), “Mengapa kalian hanya berdiri diam di sana? Jangan biarkan Pangeran Siddhattha ini mencapai cita-cita-Nya menjadi Buddha; tangkap Dia, bunuh Dia, tusuk, dan hancurkan Dia. Jangan biarkan Dia melarikan diri.”
Hei! Màra, meskipun Aku terlahir di alam manusia ini, Aku tidak sedikit pun ternoda oleh kondisi-kondisi makhluk-makhluk. Setelah mengatasi kondisi-kondisi ini yang tidak terbatas dan kotoran batin yang juga tidak terbatas, Aku memperoleh gelar si penakluk yang tidak terbatas (Anantajina). Bahkan selagi Aku duduk di singgasana tidak terlihat tanpa mengubah postur duduk bersila ini, Aku telah menghanguskan dan menyingkirkan semua kotoran batin; Aku telah benar-benar menjadi Buddha di antara manusia, dewa, dan brahmà. Dan Aku akan menolong semua makhluk dari aliran samsàra dan membawanya ke daratan tinggi Nibbàna. Engkau tidak mampu menahan-Ku.
PENCAPAIAN KE-BUDDHA-AN DENGAN DITANDAI PENEMBUSAN TIGA PENGETAHUAN SEJATI (TEVIJJO)

Buddha gotama mencpa penecerahan sempurna
Setelah memenangkan pertempuran melawan Màra Vasavattã yang juga dikenal dengan Devaputta Màra sebelum matahari terbenam pada hari purnama di bulan Vesàkha tahun 103 Mahà Era, Bodhisatta menembus tiga pengetahuan, (vijja) , dengan urutan sebagai berikut: Pengetahuan mengenai kehidupan-kehidupan lampau (Pubbenivasanussati Nàna) di jaga pertama malam itu; mata-dewa (Dibbacakkhu Nàna), di jaga pertengahan malam itu; dan pengetahuan akan padamnya perbuatan buruk (Asavakkhaya Nàna) di jaga terakhir malam itu, dan mencapai Kebuddhaan di jaga terakhir malam itu juga di malam purnama bulan Vesàkha.
PERMOHONAN UNTUK MENGAJARKAN DHAMMA
Setelah pencerahan sempurna Buddha merenungkan bahwa kebenaran yang diperolehnya dalam pencerahan ini sangatlah dalam dan luas. Manusia dengan segala keterbatasan dan kekotoran batinya tidak akan mampu memahaminya. Ketika Brahma Sahampati raja para dewa memohon kepada Buddha Gautama mengajarkan dhamma kepada para dewa dan manusia, Beliau melihat masih memiliki sedikit debu di mata mereka. Akhirnya beliau menerima permohonan itu.
PEMUTARAN RODA DHAMMA
Stelah menerima permohonan Brahma Sahampati, Sang Buddha mencari melalui mata batinnya, orang yang mamou memahami ajaran ini. Pada awlanya beliau mencari gurunya, tetapi keduanya sudah meninggal. Lalu ia teringat kepada 5 pertapa yang menemaninya saat meditasi menyiksa diri dan mendatangi mereka di Taman Rusa Isipatana. Pada waktu Buddha mendatangi mereka, mereka pada awalnya berusha mengacuhkan beliau, tetpi ketika melihat lebih dekat mereka meliahat keangungan Sang Buddha. Pada akhrinya mereka mau menerima ajaran dengan tulus. Pada saat itu di ajarkan 4 kesenyutaan yang menjadi dasar ajaran keseluruhan.
MAGHA PUJA
Pada bulan magha 1250 arahat berkumpul dalam waktu bersamaan di satu tempat yang sama tanpa diundang. Pada kesempatan ini pertama kali Sang Buddha mengajarkan Ovada Pathimoka, tentang kesabaran sebagai taoa yang tertinggi. Berkumpulnya para arahat dalam waktu bersamaan di suatu tempat yang sama tanpa di undang merupakan slah satu ciri dari seorang Buddha.
SANG BUDDHA KEMBALI KE KERAJAAN
Untuk menempati janjinya saat meninggalkan istana, beliau kembali ke isatan adan bertemi dengan istrinya Yasodhara serta anaknya Rahula untuk mengajarkan dhamma. Di kemudian hari Yasodhara menjadi bhikkhuni dan Rahula menjadi Samanera pertama.
SANG BUDDHA MENGAJAR DI SURGA TAVATIMSA
Pada kediaman musim hujannya yang ketujuh sang Buddha menuju surga Tavatimsa yang merupakan tempat kediaman dari tumimbal lahir Ratu Mahamaya yang bernama santusita. Karena cinta kasih dan rasa terima kasih pada ibunya, maka Sang Buddha mengajarkan Adhidhamma kepada dewa Santusita. Pada saat itu kumpulan dewa daro 10.000 tata dunia datang untuk mendengarkan dhamma. Setelah 3 bulan membabarkan dhamma di suraga Tavatimsa sang buddha kembali dan banyak dewa dari berbagai dunia mencpai kesucin.
PANDANGAN TENTANG BERKAH UTAMA
Pada waktu itu para dewa dan manusia berdebat tentang arti sesungguhnya dari berkah adanyang beranggap berkah merupkan sesuatu yang terlihat indah, indah di dengar. Mendengar hal ini Dew Sakka menanyakan hal ini pada sang Buddha, untuk menjawab hal ini sang Buddha membabarkan sutta tentang berkah utama. Syairnya berbunyi:
“Tidak bergaul dengan orang yang tidak bijaksana
Bergaul dengan mereka yang bijaksana
Menghormati mereka yang patut dihormati
Itulah berkah utama
Hidup di tempat yang sesuai
Menuntun diri kearah yang benar
Itulah berkah utama”
PELIMPAHAN JASA KEPADA ORANG YANG TELAH MENINGGAL
Pada malam sebelum Raja Bimbisara bertemu sang Buddha dan berdana makanan,beliau bermimpi didatanngi makhluk-makhluk kelparan yang meminta tolong. Ternyata menurut sang Buddha, mereka adalah sanak keluaraga raja yang telah meninggal dan lahir menjadi makhluk kelaparan. Kemudian sang Buddha mengajarkan Raja Bimbisara untuk mempersempbahkan dana makanan kepada sang buddha dan para arahat serta melimpahkan perbuatan baik kita bisa dilimpahkan untuk menolonh sanak keluarga yang telah meninggal dunia dengan cara berbuat baik.
MAHA PARINIBBANA

Setelah membabarkan Dhamma selama 45btahun dan mencpai umur 80 tahun. Pada saat dalam perjalanan meunuju Kusinara walaupun tubuhnya sangat lemah karena usia tua dan penyakit, Beliau berhenti di pava menginap di hutan mangga milik Ambapali. Oleh Cunda beliau di undang makan dan di sajikan sukaramaddava, namun setelah menyatapnya beliau terserang penyakit luar biasa, tetpi beliau tetap bertahan dengan kesadaran penuh, mawas sempurna tanpa keluhan. Cunda mersa bersalah dan menyesal, sang Buddha berkata “in adalah suatu jasa Cunda, ini merupakan perbuatan baikmu bahwa seorang Buddha memasuki Nibbana akhir setelah menyantap santapan darimu”dengan cara in hendaknya penyesalan Cunda dihapuskan.Sabf Buddha parinibbana di bawah 2 pohon sala di Kusinara. Sebelum parinibbana sang Buddha memberikan kata-kata terakhir “Sekarang, para bhikkhu, saya katakan pada engaku sekalian. Semua yang berprasyarat tidaklah kekal-berusahalah dengan sungguh-sungguh mencpai pembebasan dan memasuki kehidupan suci”. Pada saat wafatnya sang Buddha di pohon sala yang kembar sang Buddha berbaring dengan agung dan mulia. Para Bhikkhu bersujud meberikan penghormatan terakhir serta para dewa.. pada ssat itulah, pada waktu jaga terakhir malam hari, pada hari bulan purnama, bualan Vesakha 543SM.
PEMBAGIAN RELIK BUDDHA
Sisa jasad Buddha Gotama yang dibakar menyisahkan kristal yang di sbut relik. Relik tersebut membagi menjdi delapan bagian. Untuk mendirikan stupa di semua penjuru, agar semua mahluknbis memuliakan dan beroleh keyakinan terhadap sang Budddh Gotama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar